Subscribe Twitter FaceBook

Pages

Minggu, 08 Mei 2011

Perbaikan Aturan Tenaga Kerja Tak Jelas


Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/03/18225929/Perbaikan.Aturan.Tenaga.Kerja.Tak.Jelas 

Perbaikan Aturan Tenaga Kerja Tak Jelas

Hamzirwan | Tri Wahono | Minggu, 3 April 2011 | 18:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah harus segera menyelesaikan proses revisi dan penyusunan regulasi ketenagakerjaan, tata ruang, sampai pengadaan lahan untuk mengakselerasi investasi di sejumlah koridor ekonomi nasional. Perbaikan regulasi akan menjadi kunci menarik minat investor membangun industri, terutama padat karya, di koridor-koridor ekonomi.   

Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Minggu (3/4/2011). Pemerintah telah menetapkan rencana induk pembangunan yang membagi Indonesia dalam enam koridor ekonomi meliputi koridor timur Sumatera dan utara Jawa Barat (I), pantai utara Jawa (II), Kalimantan (III), Sulawesi (IV), Papua (V), dan Jawa-Bali-Nusa Tenggara (VI).

"Kalau diminta mengisi koridor-koridor ini, kami pasti akan meminta perubahan (regulasi) ini. Ini menjadi syarat utama kalau pengusaha mau investasi dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Silakan saja kalau mau diabaikan, kita lihat apakah akan ada asing yang mau investasi," ujar Sofjan.  

Menurut Sofjan, revisi Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu syarat penciptaan lapangan kerja baru. Persoalan tata ruang, pengadaan lahan, dan otonomi daerah juga terus menekan minat pengusaha membangun industri padat karya.

Kalangan pengusaha berharap pemerintah berani bersikap dan membuat terobosan untuk memanfaatkan momentum emas pertumbuhan ekonomi nasional. Peluang emas di tengah kenaikan peringkat Indonesia sebagai layak investasi bagi investor internasional terancam sia-sia jika pemerintah tidak segera menyelesaikan pekerjaan rumah.  

Infrastruktur, reformasi birokrasi, ekonomi biaya tinggi, sampai jaminan pasokan energi masih saja menjadi persoalan investor saat ini. Defisit energi dan kendala logistik menjadi persoalan klasik yang harus segera diatasi untuk meningkatkan daya saing nasional.   

"Undang-Undang Ketenagakerjaan harus dibereskan supaya ada kesempatan kerja di dalam negeri. Pemerintah tidak punya nyali untuk ini. Padahal, undang-undang ini merugikan semua pihak, termasuk buruh dan pengusaha," ujar Sofjan.  

Desakan revisi UU Ketenagakerjaan muncul kembali bulan Mei 2010. Kabar ini memicu perdebatan sengit antara pengusaha dan serikat buruh, yang mendapat bocoran draf revisi UU Ketenagakerjaan dinilai memihak pengusaha.  

Pemerintah lalu menengahi dengan meminta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat kajian akademis tentang UU Ketenagakerjaan. Sampai saat ini, LIPI atau pemerintah tak kunjung memaparkan hasil kajian tersebut.   

Ditunda 
Seusai meninjau Balai Pelatihan Transmigrasi Kemennakertrans di Pekanbaru, Riau, Sabtu (2/4/2011), Mennakertrans Muhaimin Iskandar menegaskan, kendala investasi terbesar adalah birokrasi dan bukan ketenagakerjaan. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan pembahasan revisi regulasi ketenagakerjaan tahun 2011.  

"Mungkin nanti tahun 2012 pembahasan tentang regulasi ketenagakerjaan yang akan disempurnakan. Jadi, mari kita isi tahun 2011 dengan diskusi-diskusi untuk penyempurnaan regulasi (ketenagakerjaan) ini," ujar Muhaimin.  

Penundaan ini bisa menjadi sinyal keinginan pemerintah mendinginkan isu revisi UU Ketenagakerjaan. Pemerintah tampak tak ingin mengambil risiko terutama menghadapi Hari Buruh Internasional pada 1 Mei nanti.  

Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengungkapkan, buruh sekarang menghadapi banyak masalah hubungan industrial akibat outsourcing, kontrak kerja, dan status kerja harian lepas. Praktik ini semakin menjauhkan buruh dari kondisi pekerjaan yang layak. 

"Supaya tidak simpang siur, ada baiknya riset yang dibuat Bank Dunia dan LIPI menjadi bahan debat publik. Harus dikupas manfaat Undang-Undang Ketenagakerjaan, apakah bisa melindungi buruh atau malah mengancam eksistensi buruh tetap," ujar Rekson. ***

0 komentar:

Posting Komentar