Subscribe Twitter FaceBook

Pages

Rabu, 11 Mei 2011

ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?


Kompas, Selasa, 10 Mei 2011

O P I N I
e-mail: opini@kompas.com dan opini@kompas.co.id


ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?

"Dan tidak dapat kita mungkiri, masih terjadi migrasi penduduk dalam jumlah yang besar, tidak teratur, dan tidak legal sehingga menyebabkan berbagai masalah politik, sosial, dan keamanan tidak hanya di negara tujuan ('countries of destination'), tetapi juga di negara yang mereka lalui ('transit countries')."
(Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 
Pembukaan ASEAN Summit XVIII, 7 Mei 2011, Jakarta)

Terus terang penulis penulis terkejut dengan isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan saat pembukaan KTT Ke-18 ASEAN, akhir pekan lalu di Jakarta.

Mencermati pidato Presiden dan kemudian mengaitkannya dengan persoalan buruh migran, tampaklah bahwa persoalan migrasi di kawasan Asia Tenggara masih lebih banyak dilihat sebagai ancaman politik kawasan daripada sebagai penggerak ekonomi regional kawasan.

Pidato mencerminkan cara pandang negara dan tentunya ASEAN (sebagai institusi regional Asia Tenggara) terhadap realitas migrasi dan kaum buruh miran di kawasan ASEAN. Situasi ini semakin menjauhkan harapan masyarakat sipil terhadap ASEAN sebagai institusi yang mampu menyediakan instrumen regional untuk melindungi buruh migran di Asia Tenggara.

Deklarasi pekerja migran

Harapan sempat muncul ketika ASEAN berhasil merumuskan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Deklarasi ditandatangani oleh 10 kepala negara dalam KTT ASEAN di Cebu, Filipina,Januari 2007.

Dokumen ini -- yang lahir lebih dahulu dari ASEAN Charter (Piagam ASEAN) -- memandatkan adanya instrumen yang lebih operasional bagi perlindungan buruh migran yang bekerja di kawasan ASEAN. Namun, hingga tahun keempat setelah dokumen dilahirkan, tak pernah ada kemajuan berarti dari proses pembahasan instrumen buruh migran ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Committee on Migrant Workers. Dalam setiap putaran pembahasan, negara-negara penerima (terutama Malaysia dan Singapura) menyabotase mandat deklarasi dan selalu menghambat langkah yang lebih maju.

Sangat disayangkan bahwa pidato Presiden SBY sama sekali tidak menyinggung kontribusi buruh migran yang memiliki efek ganda: memakmurkan negara asal maupun negara tujuan.

Dalam Human Development Report 2009 berjudul Overcoming Barries: Human Mobility and Development disajikan data bahwa buruh migran telah memperlihatkan pengorbanan dalam peningkatan kualitas hidup pembangunan manusia, baik di negara asal maupun negara tempat bekerja. Namun, ini belum diimbangi dengan kualitas perlindungan erhadap buruh migran.

Dalam konteks ASEAN, kita bisa mempertanyakan, apakah Malysia, Singapura, dan Brunei akan tetap stabil sebagai negara dengan tingkat kemakmuran tinggi dan indeks pembangunan manusia tinggi tanpa kehadiran buruh migran?

Tingkat remitansi

Survei sosial ekonomi Komisi Sosial Ekonomi PBB untuk Sosial Ekonomi Asia Pasifik (UNESCAP) yang terbit 5 Mei 2011 juga memperlihatkan peningkatan luar biasa dari remitansi buruh migran di negara-negara kawasan Asia Tenggara.Penerimaan remitansi buruh migran Indonesia, Filipina, dan Kamboja cenderung meningkat melebihi penerimaan bantuan luar negeri melalui skema Official Development Assistance (ODA). Bahkan, penerimaan remitansi buruh migran Indonesia dan Filipina juga lebih besar dibandingkan keuntungan bersih yang diperoleh negara dari investasi asing (PMA).

Meskipun kontribusi remitansi buruh migran lebih besar dibandingkan dengan bantuan luar negeri dan investasi asing, negara masih abai terhadap kerentanan dan risiko yang dialami oleh buruh migran. Sebaliknya negara lebih ramah dan fasilitatif terhadap donor dan investasi asing.

Dalam konteks Indonesia, pidato Presiden SBY juga mencerminkan keengganan pemerintah mengakui kontribusi buruh migran Indonesia. Bukannya memperjuangkan perlindungan buruh migran Indonesia dalam ASEAN Summit, Presiden SBY justru ikut serta menstigma buruh migran sebagai sumber masalah politik, sosial, dan keamanan di ASEAN.

Cita-cita membangun Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan prinsip Satu Visi, Satu Identitas, dan Satu Komunitas. Prinsip ini mensyaratkan adanya ownership (rasa memiliki) dan inklusivitas (pelibatan seluruh elemen komunitas) yang mustahil terwujud jika tidak ada pengakuan terhadap kontribusi buruh migran di ASEAN.

Namun, hingga ASEAN Summit ditutup pada 8 Mei 2011 tidak ada rekomendasi konkret untuk mengupayakan perlindungan hak-hak buruh migran ini di ASEAN.

WAHYUDI SUSILO
Analis Kebijakan Migrant Care dan 
Program Manager INFID (International NGO Forum on Indonesian Development)

0 komentar:

Posting Komentar